Jumat, 21 Desember 2012

Menjamurnya Waralaba Makanan

Sudah cukup lama saya tidak menulis di blog ini, saat ini ada sedikit keinginan untuk memulai kegiatan yang saya sukai (menulis). kenapa saya sudah lama tidak menulis di blog ini. Karena aktifitas yang padat. dan sedikit kendala teknis mengenai penggunaan editing di Blog. :D

Baikla, kali ini tulisan saya berkaitan dengan tugas dari tempat saya mengenyam pendidikan saat ini. Tugas ini merupakan tugas pertama saya membuat penulisan, di tempat baru saya mengenyam pendidikan yang notabene saya tidak memiliki bekal apapun dalam ilmu ini. hehehehe. Jikalau banyak salah atau sulit dimengerti, saya mohon maaf... Semoga dapat bermanfaat bagi rekan-rekan yang membacanya. Terimakasih :)


Menjamurnya Waralaba Makanan Menyingkirkan Pasar Tradisional

Pangan atau makanan merupakan kebutuhan primer yang sangat mendasar yang dibutuhkan manusia. Pada awal peradaban manusia (zaman purba) hampir semua kebutuhan manusia di penuhi oleh masing-masing individu. Dengan semakin majunya peradaban dan makin banyaknya kebutuhan dan beragamnya citarasa dari tiap-tiap individu. Maka pemenuhan kebutuhan akan pangan pun dapat dipenuhi oleh individu itu sendiri dan juga dipenuhi oleh orang lain. Dalam hal ini sudah dapat dikelompokan apa yang dinamakan produsen (pangan) dan konsumen (pangan)
Dengan perkembangan yang ada, berdasarkan prinsip yang dianut produsen pangan dapat di kategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu produsen yang menganut prinsip perorangan dan produsen yang menganut prinsip waralaba atau biasa dikenal dengan franchise. Salah satu contoh dari produsen yang menganut prinsip perorangan yaitu warung/kedai makan pecel lele yang hanya ada di satu tempat dan tidak memiliki cabang lain, biasanya pemilik warung/kedai yang satu dengan yang lain beda kepemilikan/pengelola dan tidak saling terikat dalam bentuk apapun (termasuk perjanjian khusus). Sedangkan contoh dari produsen yang menganut prinsip waralaba/franchise  merk dagang “Pecel lele lela” meskipun kepemilikan dari tiap warung/kedai beda kepemilikan tetapi setiap warung ini memiliki ikatan/perjanjian dengan induk si pemegang merk dagang yang dimaksud.
Waralaba menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan  Republik Indonesia No. 259/MPR/Kep/7/1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, yaitu waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam rangka menyediakan dan atau penjualan barang dan jasa.
Pengertian waralaba menurut PP RI No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba, (Revisi atas PP No. 16 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPR/Kep/7/1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba), waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti hasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Definisi waralaba secara umum dapat diartikan sebagai pengaturan bisnis yang memiliki perusahaan (pewaralaba atau franchisor) memberi/menjual hak kepada pihak pembeli atau penerima hak (terwaralaba atau franchisee) untul menjual produk dan atau jasa perusahaan pewaralaba tersebut dengan peraturan dan syarat-syarat lain yang telah ditetapkan oleh pewaralaba.
Definisi waralaba lainnya adalah suatu strategi sistem, format bisnis, dan pemasaraan yang bertujuan untuk mengembangkan jaringan usaha untuk mengemas suatu produk atau jasa. Waralaba juga dapat pula diartikan sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi keinginnan atau kebutuhan konsumen yang lebih luas.
Pada umumnya, terwaralaba akan menjualkan barang atau jasa yang dimiliki oleh pemilik waralaba. Pemilik perusahaan waralaba adalah pemberi hak atau izin atas waralaba sedangkan franchise atau terwaralaba yang membeli atau yang menerima hak waralaba.
Waralaba dapat dibagi menjadi dua:
·      Waralaba luar negeri, cenderung lebih disukai karena sistemnya lebih jelas, merek sudah diterima diberbagai dunia, dan dirasakan lebih bergengsi.
·      Waralaba dalam negeri, juga menjadi salah satu pilihan investasi untuk orang-orang yang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak memiliki pengetahuan cukup piranti awal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan oleh pemilik waralaba.
Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya
Saat ini, sistem waralaba yang berkembang pesat di negara-negara indrustri maju adalah waralabaritail maupun waralaba rumah makan siap saji. Begitupun dengan di negara berkembang seperti Indonesia, waralaba ritail seperti Alfamart, Indomart, Circle K, Yomart, mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Begitupun waralaba rumah makan siap saji, seperti pecel lele lela, warung steak, KFC, breadtalk, dan lain-lain.
Kini, tercatat ada sekitar 1.010 waralaba. Menurut data dari Departemen Perdagangan, omset 1.010 Waralaba tersebut mencapai Rp 81 triliun per tahun. Omset tersebut berasal dari waralaba asing sebesar Rp 38,8 triliun dengan 260 pewaralaba, dan waralaba lokal sebesar Rp 45,5 triliun dengan 750 pewaralaba. Pertumbuhan waralaba di Indonesia dari tahun ke tahun diprediksi bakal mengalami kenaikan lebih signifikan. Diperkirakan angka pertumbuhannya mencapai 10-15 persen per tahun.
Menurut Komisaris Pendidikan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Erwin Halim, bidang usaha makanan dan minuman masih mendominasi bisnis waralaba di Indonesia saat ini. “Aneka usaha makanan dan minuman ini sudah menjadi tren waralaba dari tahun lalu, dan perkiraannya tahun depan juga masih akan menjadi bisnis yang paling diminati” tutur Erwin di sela-sela International Franchise, License, Businnes Concept Expo (IFRA) 2010 , di Jakarta Convention Centre (JCC), Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, menurut Amir Karamoy, Ketua Dewan Pengarah Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), tren waralaba asing yang masuk ke Indonesia mengalami penurunan. Sampai bulan Oktober 2010, sedikitnya ada sekitar 14 hingga 17 waralaba asing baru yang masuk ke Indonesia. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2008, yang mencatat pendaftaran 38 waralaba asing. Sedangkan pada tahun lalu, ada sekitar 20 perusahaan asing yang mengajukan izin waralaba.
Kunci keberhasilan bisnis waralaba adalah kekuatan merek, sebelum mewaralabakan usahanya hendaknya setiap pengusaha mendaftarkan terlebih dahulu merek dagangnya ke kantor Merek di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia, maka dengan demikian jika kita telah memiliki merek yang terdaftar peluang untuk mewaralabakan usaha kita akan lebih terjamin kepastian hukumnya. Selain itu penerima waralaba akan mempercayai sistem waralaba yang ditawarkan, karena pemilik waralaba memiliki merek dagang yang terdaftar. Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA.
Faktor yang sangat penting dari keberhasilan bisnis franchise makanan di Indonesia yaitu kekuatan permintaan konsumen. Hal ini ditunjang oleh daya beli mereka. Tingginya tingkat pertumbuhan daya beli konsumen dapat dilihat dari produk domestik brutto yang datanya penulis peroleh dari sumber BPS seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Produk Domestik Bruto – Nilai ( Miliar rupiah )
Periode                                 Nilai
2000
Mar.                       324.232,15
Jun.                         336.314,05
Sep.                        360.783,18
Dec.                        368.440,21
2001
Mar.                       397.956,38
Jun.                         424.077,42
Sep.                        433.905,23
Dec.                        428.341,46
2002
Mar                        454.395,34
Jun.                         466.922,36
Sep.                        491.030,05
Dec.                        485.452,21
2003
Mar.                       516.820,13
Jun.                         515.704,45
Sep.                        530.011,34
Dec.                        524.221,79
2004
Mar.                       552.253,40
Jun.                         573.962,60
Sep.                        599.007,80
Sumber: www.bps.go.id, Pebruari 2005

Dari data di atas tampak bahwa produk domestik bruto bangsa Indonesia mengalami kenaikan terus menerus sejak tahun 2000. Hal ini menjadi pendorong yang kuat akan keberhasilan bisnis makanan di Indonesia karena daya beli masyarakat meningkat
Selain itu dilihat dari produk domestik brutto sektor perdagangan, hotel yang mempunyai restoran serta restoran saja, diperoleh data seperti tabel 2.
Tabel 2. Produk domestik Bruto Menurut lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Sektor Perdagangan, Hotel&Restoran, Restoran (Miliar rupiah)
Periode                 Nilai
2000
Mar.                       7.348,4
Jun.                         7.541,6
Sep.                        7.688,3
Des.                        7.889,1
2001
Mar.                       7.521,2
Jun.                         7.670,5
Sep.                        8.395,4
Des.                        10.167,2
2002
Mar.                       12.702,5
Jun.                         14.433,6
Sep.                        15.459,1
Des.                        16.031,4
2003
Mar.                       15.844,8
Jun.                         15.687,7
Sep.                        15.548,0
Des.                        15.823,5
2004
Mar.                       15.733,72
Jun.                         17.031,18
Sep.                        17.406,12
Sumber : www.bps.go.id, Pebruari 2005

PDB sektor perdagangan hotel dan restoran juga mengalami kenaikan terus menerus. Hal ini membuktikan  bahwa bisnis makanan terus berkembang dan potensial demand akan terus bertumbuh. Hal ini menyebabkan  motivasi pertumbuhan bisnis makanan baru, terus berlanjut.
Beberapa alasan para pelaku pasar (dalam hal ini produsen) untuk menggunakan sistem waralaba adalah :
1.      Meningkatnya permintaan dari konsumen akan produk makanan. Dengan meningkatnya permintaan ini mendorong pertumbuhan waralaba yang cuku tinggi, demikian juga produsen yang menganut sistem non waralaba.
2.      Kebutuhan dasar konsumen untuk mendapatkan suatu produk dengan harga terjangkau/murah. Untuk pemenuhan kebutuhan ini, beberapa produsen menganggap sistem waralaba lebih berpengalaman untuk menentukan harga. Karena telah memiliki sistem yang jelas dan telah memiliki pengalaman sebelumnya. Artinya tidak membutuhkan lagi biaya-biaya percobaan,  karena telah dilakukan sebelumnya. Sehingga dapat menekan biaya yang berdampak pada harga produk
3.      Meningkatnya kepuasan yang diharapkan oleh kosnumen terhadap mutu suatu produk, seperti : penampilan bersih, rapi, menyenangkan, bergengsi, makanan yang enak, dan bergizi. Dalam keadaan “kurang informasi”, misalnya saat bepergian, orang cenderung akan memilih franchise karena di mana pun pelayanan, produk, dan harganya sama. Dgn makan di gerai McDonald misalnya, seorang konsumen lebih mendapat kepastian ketimbang mencoba-coba lokasi makanan yg sama sekali baru yg berisiko harus membayar harga tinggi tapi dgn rasa yg pasaran.
4.      Makanan merupakan kebutuhan primer. Lebih dari itu, makan-makan kini justru menjadi life style. Semakin bertebarannya tayangan kuliner di tv dan menjamurnya mal hingga ke pelosok daerah jelas sangat mendukung tren ini.
5.      Resiko kegagalan usaha yang biasa dihsadapi oleh para pengusaha yang berusaha membangun bisnis dengan sistem sendiri adalah resiko kegagalan sistem itu sendiri. Sudah menjadi hal yang umum diketahui bahwa tidaklah mudah untuk menciptakan suatu sistem yang mantap dan berhasil guna. Adapun yang dimaksud dengan sistem di sini adalah suatu sistem yang komprehensif dengan segenap sub-sistemnya, seperti sub-sistem marketing, sub-sistem produksi, sub-sistem keuangan dan administrasi, hingga sub-sistem sumber daya manusianya. Dengan membeli hak waralaba dari waralaba yang sudah ada di pasaran, bisa dikatakan bahwa terwaralaba juga telah membeli sistem yang ada dalam waralaba tersebut, sehingga terwaralaba tidak perlu menciptakan sistem sendiri karena tinggal mengaplikasikan sistem yang sudah ada dan sudah terbukti berhasil.
6.      Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA
  1. waralaba makanan begitu sukses karena dunia kuliner di negeri ini begitu kaya raya. Hasil alam kita banyak yg bisa diubah menjadi kudapan yg mampu memikat lidah. Karena itu pula, banyak orang optimistis bahwa franchise lokal akan mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
  2. waralaba mampu meningkatkan gengsi sejumlah makanan tradisional. Siapa yg tidak suka makan ketela atau singkong? Dgn waralaba, makanan yg tadinya biasa saja ini bisa “naik pangkat” dgn merek generik “tela-tela” dan terbukti disukai banyak orang.
  3. skala franchise makanan juga sangat lebar dari investasi miliaran per outlet hingga jutaan rupiah saja untuk kelas kaki lima. Yg cilik pun hasilnya tetap “maknyuss” karena penyebarannya bisa relatif cepat.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam usaha pemberberdayaan ekonomi rakyat yang diakibatkan oleh menjamurnya bisnis waraaba yang modern ini akan mematikan usaha lokal yang bermodal kecil. Persaingan yang tidak seimbang ini secara langsung mematikan peluang usaha masyarakat kecil, dan pengusaha kecil didorong untuk selalu kreatif dalam menggali potensi pasar dan membuat pasar sendiri sebagai penyaluran atas hasil produksinya.
Persaingan usaha antara pemilik modal besar (dalam hal ini franchisor), khususnya di kota-kota kecil Indonesia secara tidak langsung telah mematikan sumber pendapatan ekonomi masyarakat kelas bawah. Persaingan yang timpang ini lambat laun mematikan pasar tradisional yang telah ada dan menggiring masyarakat untuk merubah kebiasan dalam memperoleh setiap kebutuhannya. Peralihan ini menyebabkan struktur hubungan sosiologis masyarakat melalui interaksi secara langsung berkurang drastis.
Akhirnya, untuk menyelaraskan antara social benefit dan social cost yang ditimbulkan oleh semakin maraknya bisnis waralaba, pemerintah sebagai regulator seharusnya mampu membuat kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan kedua pihak tersebut. Peran itu dilakuan melalui kebijakan-kebijakan proteksionis terhadap usaha kecil perseorangan serta membatasi ruang gerak waralaba di beberapa daerah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan berdasarkan populasi suatu daerah. Misalnya dengan memberikan pembatasan jumlah jenis usaha yang satu perusahaan sejenis dalam satu daerah.








DAFTAR PUSTAKA

Pulat. (2011). Bagaimana Untung Rugi Dalam Waralaba makanan. Tersedia : http://kamissore.blogspot.com/2011/01/bagaimana-untung-rugi-dalam-waralaba.html. (17 Desember 2012)
Siputro. (2012). Franchise Makanan Lebih Menguntungkan. Tersedia : http://ipcorner.wordpress.com/tag/alasan-memilih-bisnis-franchise/. (17 Desember 2012)
Wikipedia. (2012). Waralaba. Tersedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Waralaba. (20 Desember 2012)
Mazwahid. (2011). Pengertian Waralaba atau Franchise. Tersedia : http://kampus.marketing.co.id/2011/12/27/pengertian-waralaba/. (20 Desember 2012)
Mmionline. (2012). Pengertian Waralaba. Tersedia : http://www.mmionline.net/Pengertian-Waralaba.html. (20 Desember 2012)
Gudangwirausaha. (2011). Pengertian Waralaba | Kemitraan |Waralaba | Franchise. Tersedia :  http://gudangwirausaha.wordpress.com/2011/06/05/pengertian-waralaba-kemitraan-waralaba-franchise/. (20 Desember 2012)
Gunawan, Hendra. (2010). Serbuan Waralaba Asing Mulai Surut. Tersedia : http://peluangusaha.kontan.co.id/news/serbuan-waralaba-asing-mulai-surut-1/2010/11/01. (21 Desember 2012)

2 komentar: