Kamis, 01 Agustus 2013

HUBUNGAN PERBURUHAN DAN INDUSTRIAL



B A B    I
L A T A R    B E L A K A N G

Isu menyangkut perselisihan antara pengusaha dan pekerja seakan tidak ada hentinya. Kasus demi kasus dapat dituntaskan, tapi juga terus bermunculan kasus baru, layaknya pohon di musim penghujan, dimana daunnya terus tumbuh. Dalam tulisan ini akan dibahas kasus hubungan industrial antara manajemen dan karyawan PT Freeport Indonesia.
Pada kasus ini terjadi aksi pemogokan karyawan, dengan tuntutan mengenai kenaikan upah. Bulan September 2011 sebanyak 8.000 dari 23.000 karyawan Freeport mogok kerja karena karyawan menuntut kenaikan gaji sebesar 20 kali lipat dari gaji minimum sebesar US$1,50 per jam menjadi $30 per jam. Dan Mogok kerja di perpanjang hingga 15 Januari 2012.
Pada akhirnya kasus ini menemui titik kesepakatan, dengan PT Freeport Indonesia menyetujui peningkatan upah pokok sebesar 24 persen pada tahun pertama, dan 13 persen pada tahun kedua atau setara dengan peningkatan sebesar 40 persen bila digabungkan selama dua tahun.









B A B    II
L A N D A S A N    T E O R I

Hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan. Pihak yang paling berkepentingan atas keberhasilan perusahaan dan berhubungan langsung sehari-hari adalah pengusaha atau manajemen dan pekerja. Disamping itu masyarakat juga mempunyai kepentingan, baik sebagai pemasok faktor produksi yaitu barang dan jasa kebutuhan perusahaan, maupun sebagai masyarakat konsumen atau pengguna hasil-hasil perusahaan tersebut. Pemerintah juga mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung atas pertumbuhan perusahaan, antara lain sebagai sumber penerimaan pajak. Jadi hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang berkepentingan tersebut. Dalam pengertian sempit, hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara manajemen dan pekerja atau Management-Employees Relationship.
Payaman J. Simanjuntak (2009) menjelaskan beberapa prinsip dari Hubungan industrial, yaitu :
  1. Kepentingan Bersama: Pengusaha, pekerja/buruh, masyarakat, dan pemerintah
  2. Kemitraan yang saling menguntungan: Pekerja/buruh dan pengusaha sebagai mitra yang saling tergantung dan membutuhkan
  3. Hubungan fungsional dan pembagian tugas
  4. Kekeluargaan
  5. Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
  6. Peningkatan produktivitas
  7. Peningkatan kesejahteraan bersama
Tujuan akhir pengaturan Hubungan Industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja maupun pengusaha. Kedua tujuan ini saling berkaitan, tidak terpisah, bahkan saling mempengaruhi. Produktivitas perusahaan yang diawali dengan produktivitas kerja pekerjanya hanya mungkin terjadi jika perusahaan didukung oleh pekerja yang sejahtera atau mempunyai harapan bahwa di waktu yang akan datang kesejahteraan mereka akan lebih membaik.
Ruang lingkup hubungan industrial meliputi  seluruh aspek dan permasalahan ekonomi sosial, politik, budaya dan lain-lain, baik langsung maupun tak langsung dengan hubungan antara pekerja pengusaha dan pemerintah. Secara terperinci yang termasuk lingkup hubungan industrial meliputi antara lain :
           Syarat-syarat kerja
 Syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh yang diatur dalam peraturan perundangan.
Syarat kerja :
·       Memiliki kemampuan dan/atau kompetensi yang diperlukan perusahaan
·       Cakap secara hukum
·                                                      Kesediaan untuk mentaati perjanjian kerja
           Pengupahan
Upah adalah segala macam pembayaran yang timbul dari kontrak kerja, terlepas dari jenis pekerjaan dan denominasinya. Upah menunjukkan penghasilan yang diterima oleh pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Upah dapat diberikan baik dalam bentuk tunai atau natura (barang yg sebenarnya, bukan dl bentuk uang), atau dalam bentuk tunai natura. Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.
Masalah pertama yang timbul dalam bidang pengupahan dan karyawan pada umumnya pengertian dan kepentingan yang berbeda mengenai upah. Bagi pengusaha, upah dapat dipandang menjadi beban karena semakin besar upah yang dibayarkan pada pekerja, semakin kecil proporsi keuntungan bagi pengusaha. Segala sesuatu yang dikeluarkan oleh pengusaha sehubungan dengan mempekerjakan seseorang dipandang sebagai komponen upah. Dilain pihak, karyawan dan keluarganya biasanya menganggap upah hanya sebagai apa yang diterimanya dalam bentuk uang (take home pay). Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sedikit pengusaha yang secara sadar dan sukarela berusaha meningkatkan penghidupan karyawannya. Dilain pihak, karyawan melalui Serikat pekerja dengan mengundang campur tangan pemerintah selalu menuntut kenaikan upah dan perbaikan fringe benefit (kompensasi tidak langsung). Jika tuntunan seperti itu tidak disertai dengan peningkatan produktivitas kerja akan mendorong pengusaha untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja dengan menurunkan produksi, menggunakan teknologi yang lebih padat modal atau mendorong harga jual barang yang kemudian mendorong inflasi.
Masalah kedua di bidang pengupahan berhubungan dengan keanekaragaman sistem pengupahan. Proporsi sebagian upah dalam bentuk natura dan fringe benefit cukup besar, dan besarnya tidak seragam antara perusahaan-perusahaan. Sehingga kesulitan sering diketemukan dalam perumusan kebijakan nasional, misalnya dalam hal menentukan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur dan lain-lain.
Masalah ketiga yang dihadapi dalam bidang pengupahan adalah rendahnya tingkat upah atau pendapatan masyarakat. Rendahnya tingkat upah ini disebabkan karena tingkat kemampuan manajemen yang rendah sehingga menimbulkan berbagai macam pemborosan dana, sumber-sumber dan waktu. Selain itu, penyebab rendahnya tingkat upah karena rendahnya produktivitas kerja. Produktivitas kerja karyawan rendah, sehingga pengusaha memberikan imbalan dalam bentuk yang rendah juga.
           Jam kerja
Selama Revolusi Industri, banyak perusahaan berusaha untuk memaksimalkan produksi dari pabrik-pabrik mereka dengan menjaga agar pabrik-pabrik tersebut bekerja dengan jam sebanyak mungkin setiap harinya.
Biasanya mereka akan menerapkan jam kerja dari matahari terbit sampai matahari terbenam. Upah yang diberikan juga sangat rendah, sehingga para pekerja sendiri sering mengajak anak-anak mereka untuk bekerja di pabrik-pabrik sebagai buruh dibanding menyekolahkan mereka.
Dengan sedikit representasi, pendidikan, atau pilihan, pekerja pabrik juga cenderung untuk bekerja dalam kondisi kerja yang buruk. Jam kerja pada masa saat ini biasanya berlangsung antara 10-18 jam per hari, enam hari seminggu.
Tapi, ini semua mulai berubah pada abad ke-19. Orang yang pertama menyarankan jam kerja sepanjang 8 jam sehari adalah seorang berkebangsaan Inggris bernama Robert Owen, yang juga salah satu pendiri paham sosialisme.
Owen merasa bahwa waktu dalam sehari seharusnya dibagi menjadi tiga, dimana para pekerja harus mendapatkan perbandingan waktu yang sama untuk diri mereka sendiri dan tidur istirahat seperti yang mereka lakukan untuk bekerja.
Pada tahun 1817, ia mulai berkampanye dengan kalimat slogan, "Delapan jam kerja, delapan jam rekreasi, delapan jam istirahat."
Sayangnya, hal ini tidak mendapat tanggapan serius selama beberapa waktu, sampai pada abad ke-19 dimana terjadi serangkaian demo para buruh yang berlalu dengan peningkatan kondisi kerja dan pengurangan jam kerja bagi pekerja pabrik. Sehingga akhirnya, ditetapkan bahwa wanita dan anak-anak diberi jam kerja selama 10 jam sehari.
Usulan jam kerja 8 jam sehari muncul sekali lagi di Inggris pada tahun 1884 yang dicetuskan oleh Tom Mann yang merupakan anggota dari Federasi Sosial Demokrat. Mann kemudian membentuk "Eight Hour League" yang salah satunya bertujuan agar jam kerja 8 jam sehari ditetapkan.
Kemenangan terbesar mereka datang ketika mereka berhasil meyakinkan Trades Union Congress, yang mewakili mayoritas serikat buruh di Inggris untuk menetapkan jam kerja 8 jam sehari yang bahkan berlaku sampai hari ini.
Dorongan untuk memangkas jam kerja dimulai lebih awal lagi di Amerika Serikat, pada tahun 1791, dimana para pekerja di Philadelphia mendesak untuk diberlakukannya jam kerja 10 jam sehari termasuk di dalamnya 2 jam waktu untuk makan.
Pada tahun 1830-an, dukungan untuk jam kerja 8 jam sehari dicetuskan diantara mayoritas rakyat kelas pekerja di Amerika Serikat, tapi masih gagal untuk menemukan dukungan di antara pemilik perusahaan.
Momentum kemudian didapatkan ketika beberapa "Eight Hour League" terbentuk di Amerika Serikat, seperti yang Mann dirikan di Inggris pada waktu yang sama.
Pada tahun 1884, The Federation of Organized Trades and Labor Unions menyatakan bahwa tanggal 1 Mei 1886 akan menjadi hari pertama dimana jam kerja 8 jam sehari diwajibkan. Namun hal ini diabaikan oleh para pemilik perusahaan sehingga menyebabkan para buruh mogok kerja dan melakukan aksi protes.
Sehingga ketika 1 Mei 1886 tiba, sekitar 350.000 pekerja mogok dari pekerjaan mereka memprotes untuk diberlakukannya jam kerja 8 jam sehari.
Pada tahun 1905 para pemilik industri akhirnya mulai menerapkan jam kerja 8 jam sehari atas inisiatif mereka sendiri. Salah satu perusahaan yang pertama menerapkan hal ini adalah Ford Motor Company, pada tahun 1914, tidak hanya itu mereka juga menggandakan gaji para pekerja mereka.
Yang mengejutkan, hal ini malah mengakibatkan produktivitas Ford meningkat secara signifikan dan margin keuntungan Ford menjadi dua kali lipat dalam dua tahun setelah menerapkan perubahan ini. Hal ini kemudian mendorong perusahaan lain untuk mengambil langkah serupa.
           Jaminan sosial     
Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara guna menjamin warganegaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952. Utamanya adalah sebuah bidang dari kesejahteraan sosial yang memperhatikan perlindungan sosial, atau perlindungan terhadap kondisi yang diketahui sosial, termasuk kemiskinan, usia lanjut, kecacatan, pengangguran, keluarga dan anak-anak, dan lain-lain.
           Keselamatan dan kesehatan kerja 
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Bagaimana K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tempat kerja.Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.



           Organisasi pekerja
Organisasi yang dibutuhkan pekerja adalah serikat pekerja, tetapi kenyataannya banyak pekerja tidak menyadari bahwa Serikat Pekerja adalah hak yang melekat bagi pekerja (Worker Rights is Human Rights) seperti yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asazi Manusia Pasal 23: ayat (1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat pekerjaan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan akan pengganguran; ayat (2) Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama; ayat (3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan social lainnya; ayat (4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
Kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi juga dituangkan dalam Konvensi ILO No. 87 Tahun 1956 (Freedom Of Association and Protection Of The Right
to Organise) dimana pemerintah Indonesia telah meratifikasinya melalui Keppres No. 83
tahun 1998; pasal (2) Para Pekerja dan Pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak
untuk mendirikan dan, menurut aturan organisasi masing – masing, bergabung dengan
organisasi – organisasi lain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain; pasal
(4) Organisasi pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang kegiatannya
oleh penguasa administratif.
Serikat pekerja adalah organisasi demokratis yang berkesinambungan dan permanen
dibentuk secara sukarela dari, oleh dan untuk pekerja sebagai maksud untuk;
Melindungi dan membela hak dan kepentingan pekerja
Sebagai individu pekerja tidak akan mampu melindungi dan memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya; kebebasan berserikat dan berorganisasi, perlindungan
akan pengangguran, perlindungan akan diskriminasi, mendapatkan kesamaan kesepakatan akan pendidikan dan pelatihan, promosi dan penghargaan, peningkatan
kondisi – kondisi dan syarat-syarat kerja, dan sebagainya. Hanya dengan melalui serikat
pekerja mereka bisa mencapainya, karena serikat pekerja memiliki kewenangan penuh
untuk menyuarakan kepentingan dan hak-hak anggotanya (pekerja), dan mewakili
pandangan, pendapat dan kemauan mereka.
Memperbaiki kondisi – kondisi dan syarat - syarat kerja melalui perjanjian kerja bersama dengan manajemen/pengusaha
Seperti disebut diatas bahwa pekerja harus mengetahui dan memahami bahwa sebagai
perseorangan dan pekerja tidak akan banyak yang bisa dicapai. Hanya melalui usaha
mengorganisir dirinya dan kegiatan kolektif mereka dapat secara efektif menjunjung
tinggi martabatnya sebagai individu dan pekerja, menghormati perintah dari pengusaha - berusaha keras untuk memperbaiki dan memelihara mata pencaharian, meningkatan
pengupahan, status sosial ekonomi, kesejahteraan yang lebih baik dan upah-upah
lainnya. Perjanjian kerja bersama hanya bisa dilakukan hanya oleh pengusaha/organisasi pengusaha/kelompok pengusaha disatu pihak dan pihak lainnya
oleh perwakilan organisasi pekerja atau perwakilan dari pekerja dalam rangka perundingan kondisi dan syarat-syarat kerja (ILO Recommendation No. 91 Paragraf 2,
Konvensi ILO No. 98 Pasal 4).
Melindungi dan membela pekerja beserta keluarganya akan keadaan sosial dimana mereka mengalami kondisi sakit, kehilangan dan tanpa kerja (PHK)
Berpikir tentang pekerja kita tidak hanya berpikir tentang diri mereka sendiri tetapi juga
keluarga yang dimilikinya. Kondisi sulit yang dialami pekerja; sakit, kehilangan promosi atau jabatan, skorsing ataupun PHK akan juga dirasakan oleh keluarganya. Disamping sebagai lembaga perundingan (bargaining institution) serikat pekerja adalah juga lembaga sosial (Social Institution)
Mengupayakan agar manajemen/pengusaha mendengarkan dan mempertimbangkan suara atau pendapat serikat pekerja sebelum membuat keputusan
Setiap keputusan yang diambil oleh manajemen/pengusaha akan selalu berdampak kepada pekerja. Serikat pekerja mempunyai hak untuk mengetahui rancangan  keputusan yang akan diambil dengan memberikan masukan ataupun menekan dan mempengaruhi kebijakan yang akan diambil bila itu berdampak buruk bagi pekerja.
           Organisasi pengusaha
Tujuan dibentuknya APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) untuk :
1. Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan pelayanan kepentingannya didalam bidan hubungan industrial.
2.     Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan dan kegairahan kerja serta usaha dalam pembinaan hubungan industrial dan ketenagakerjaan.
           Penyelesaian perselisihan
Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu suatu kondisi dimana terdapatnya perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan kepentingan antara Pengusaha dengan Karyawan karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) atau perjanjian kerjasama.
Penanganan Perselisihan Hubungan Industrial yang terjadi di Perusahaan memerlukan penanganan yang tepat dan hati-hati. Langkah utama yang  wajib dilakukan dalam penanganan timbulnya Perselisihan Hubungan Industrial adalah melakukan klarifikasi permasalahan guna mengetahui duduk perkara yang sebenarnya untuk meminimalkan resiko Ketenagakerjaan yang berlarut-larut yang merugikan baik Perusahaan maupun Karyawan yang bersangkutan.
Hal yang perlu diperhatikan oleh Perusahaan sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan penyelesaian adalah dengan melakukan klarifikasi terhadap alasan dan faktor penyebab terjadinya Perselisihan. Langkah klarifikasi ini sangat penting dilakukan untuk menghindari dampak Penyelesaian yang dapat merugikan perusahaan baik kerugian secara finansial (financial risk) maupun kerugian atas nama baik perusahaan (name risk).
           Sikap prilaku pekerja pengusaha dan pemerintah
           Membina keserasian
Salah satu sarana hubungan industrial
pancasila dalam membina keserasian dan keselarasan adalah perjanjian
kerja bersama (PKB). Perjanjian kerja bersama mi mengatur hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja. Selain itu dengan adanya perjanjian
kerja bersama, maka pekerja mendapat ketenangan serta kepastian
mengenai kesejahteraannya karena pekerja diberi kesempatan untuk
membincangkan dengan pengusaha secara bebas perihal kesejahteraannya
dan hal — hal yang berkenaan dengan kelancaran perusahaan. Dengan
terlaksananya hubungan mitra kerja yang serasi, seiring dan sejalan antara
pengusaha dengan pekerja serta dengan adanya kepastian dalam bekerja
maka pada akhirnya hal tersebut dapat meningkatkan produktivitas pekerja
yang secara tidak langsung juga meningkatkan kesejahteraan pekerja
beserta keluarganya pada khususnya dan rakyat Indonesiapada umumnya
           Peraturan dan persyaratan kerja
           Kesepakatan kerja Bersama (KKB)
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Peraturan-peraturan yang mendasari diperlukannya KKB/PKB antara lain adalah:
     UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
    UU No. 1 Tahun 1954 tentang Perjajian Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan
    UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar daripada Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
    PP No.49 Tahun 1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan
    Kepmenaker No.Per-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama
           Undang-Undang Ketenaga kerjaan.
Undang-undang ketenaga kerjaan didasari dari UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
           Tripartit
Pihak yang terkait dalam Hubungan industrial yaitu Pengusaha, Pekerja, dan pemerintah
           Bipartit
Pihak yang terkait dalam Hubungan industrial yaitu Pengusaha dan Pekerja



B A B    III
A N A L I S I S

Mogok kerja dengan alasan apapun merupakan hal yang sangat tidak diharapkan oleh pengusaha maupun karyawan. Mogok kerja dengan alasan untuk menyampaikan pendapat atau permohonan harusnya dapat dihindari, misal dengan dilakukan penyampaian pendapat atau permohonan melalui permohonan tertulis, yang dapat diwakili oleh Serikat Pekerja yang ada dalam suatu perusahaan.
Pada kasus ini mogok kerja yang dilakukan dikarenakan tuntutan karyawan PT. Freeport Indonesia untuk mendapatkan kenaikan upah. Umumnya perusahaan-perusahaan telah memiliki kebijakan sendiri terhadapa kenaikan atau penyesuaian upah, sesuai dengan kemampuan perusahaan, misal penyesuaian upah yang disebabkan inflasi, kenaikan golongan sesuai beban kerja yang di emban dan kebijakan-kebijakan yang lain.
Memang kenaikan upah merupakan hal yang sensitif baik bagi pengusaha maupun karyawan. Upah dapat menjadi beban bagi pengusaha, karena dengan naiknya upah maka biaya yang harus dikeluarkan pun akan bertambah. Tetapi bagi karyawan dengan kenaikan upah akan dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan. Hal ini sudah termasuk kedalam prinsip dasar hubungan industrial diantaranya : Kepentingan Bersama, disini baik dari pihak pengusaha maupun karyawan memiliki kepentingan. Peningkatan produktivitas, apabila tuntutan kenaikan upah dipenuhi perusahaan, maka perusahaan mengharapkan peningkatan produktivitas yang masih dalam tingkat toleran sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Peningkatan kesejahteraan bersama, diharapkan dengan adanya kenaikan upah dan peningkatan produktivitas dapat meningkatkan kesejahteraan bersama baik itu bagi karyawan maupun pengusaha
Dalam hal upah pemerintah juga memiliki perhitungan tersendiri, sehingga setiap provinsi / daerah memiliki Upah Minimum Regional yang berbeda-beda. Dalam hal ini tripartit dapat saling memahami, misal dari karyawan memang akan mengharapkan mendapatkan Upah diatas ketentuan upah minimum yang diterapkan pemerintah, dan untuk mendapatkan hak itu, karyawan dapat melakukan kewaijabnnya dengan bekerja giat yang akan meningkatkan produktifitas. Demikian juga dengan pengusaha, apabila perusahaan memiliki kemampuan lebih dari standar pemerintah, maka tidak ada salahnya untuk meningkatkan upah yang dimaksud dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan bersama antara karyawan maupun pengusaha. Dalam hal ini akan tercipta kemitraan yang saling menguntungkan dan hal ini seirama dengan prinsip hubungan industrial.
Pihak perusahaan ataupun pengusaha juga harus lebih terbuka dengan pendapatan / keuntungan yang di terima oleh perusahaan setiap tahunnya, dan hal ini disampaikan secara bijaksana terhadap karyawan yang dalam hal ini diwakili oleh Serikat Pekerja. Disini peran manager untuk dapat menyampaikan dan mengarahkan sesuai kondisi aktual yang ada agar dapat diterima oleh karyawan. Dan juga peran Serikat Pekerja untuk dapat menyampaikan kepada karyawan dengan kondisi yang sebenarnya tanpa ada tambahan atau pengurangan. Dengan adanya komunikasi yang baik ini diharapkan sudut pandang antara karyawan maupun pengusaha memiliki sudut pandang yang sama sehingga tercipta kesinambungan.
Apabila sudah terjadi perselisihan antara kedua pihak, seperti mogok kerja yang terjadi, maka perlu di lakukan mediasi antara kedua pihak, dan akan lebih baik jika hal ini dapat diselesaikan bipartit. Pada kasus  September tahun 2011, sebanyak 8.000 dari 23.000 karyawan Freeport mogok kerja karena karyawan menuntut kenaikan gaji sebesar 20 kali lipat dari gaji minimum sebesar US$1,50 per jam menjadi $30 per jam. Dalam negosiasi untuk mengakhiri mogok, PTFI menyetujui peningkatan upah pokok sebesar 24 persen pada tahun pertama, dan 13 persen pada tahun kedua atau setara dengan peningkatan sebesar 40 persen bila digabungkan selama dua tahun. Selain itu, PT. Freeport Indonesia menyetujui berbagai peningkatan tunjangan, termasuk penambahan bonus kerja shift dan lokasi, tunjangan perumahan, bantuan pendidikan, dan program tabungan masa pensiun.
Disini negosiasi yang terjadi bipartit dan mendapatkan titik temu. Didapatkan titik temu yang berpedoman pada kemitraan yang saling menguntungkan. Tampak juga bahwa PT. Freeport Indonesia berusaha untuk menciptakan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja dengan cepat melakukan negosiasi dan berharap mogok kerja dapat segera berhenti dengan diadakannya negosiasi yang dimaksud.
Perlu juga diperhatikan oleh karyawan maupun Serikat Pekerja mengenai Kesepaktan Kerja Bersama. Kesepakatan Kerja Bersama dibuat oleh Pengusaha/manajemen dan Karyawan (yang diwakili oleh Serikat Pekerja). Dalam pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama ini Serikat Pekerja harus betul-betul kritis dan detail sehingga tidak merugikan karyawan dan perusahaan. Begitupun pengusaha / manajemen diharapkan dalam membuat Kesepakatan Kerja Bersama tidak berat atau menguntungkan perusahaan saja, tetapi harus tetap menjunjung prinsip kemitraan yang saling menguntungkan, sehingga tidak merugikan perusahaan maupun karyawan.
Apabila Kesepakatan Kerja Bersama telah terbentuk dan disetujui kedua belah pihak, maka kedua belah pihak tidak boleh mengingkari apa yang tertuang dalam Kesepakatan Kerja Bersama ini. Misalnya pada kasus ini, Perusahaan bermaksud menjalankan semua hak hukumnya termasuk untuk tidak membayar karyawan pada hari dimana karyawan tersebut tidak masuk kerja. Sehubungan dengan itu, Manajemen PT Freeport menegaskan bahwa mulai Kamis (15/9), perusahaan akan menerapkan program "Tidak Bekerja, Tidak Dibayar" atau "No Work, No Pay". Karyawan menyayangkan hal ini karena mengacu pada Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, selama mogok kerja, upah karyawan seharusnya tetap dibayar perusahaan. Pada kasus ini akhirnya sampai 2 bulan upah karyawan yang ikut mogok kerja tidak dibayarkan. Karena perusahaan menganggap mogok kerja yang dilakukan tidak sah. Melihat hal ini, hendaknya dalam PKB yang baru dijelaskan secara mendetail tentang kegiatan seperti ini. Sehingga perusahaan dan karyawan tidak saling dirugikan.
Memang dalam penyelesaian perselisihan ini PT. Freeport Indonesia sudah mengambil langkah yang baik, misal dengan tidak melakukan PHK terhadap karyawan yang melakukan mogok kerja yang akan dapat merugikan salah satu pihak. Dalam kasus ini PT. Freeport telah melakukan negosiasi dengan karyawan sehingga ditemukan titik temu yang tidak merugikan kedua belah pihak. Tetapi ada hal yang perlu menjadi perhatian perusaahaan yaitu timbul suasana yang kurang kondusif dengan adanya 'perbedaan perlakuan' yang dilakukan perusahaan terhadap karyawan yang ikut mogok kerja beberapa tahun lalu. Pekerja yang mogok kemarin, cenderung lebih dianaktirikan oleh perusahaan dibanding yang tidak mogok. Kalau yang mogok mengeluh, tidak ditanggapi. Kalau yang tidak mogok mengeluh, langsung ditanggapi. Apabila dalam prakteknya memang terjadi seperti ini, perusahaan harus segera berbenah, karena ini merupakan potensi yang dapat merugikan perusahaan. Hendaknya perusahaan dapat lebih bijaksana dalam menyikapi mogok kerja yang dilakukan beberapa tahun lalu.
Dengan adanya perasaan demikian yang timbul pada karyawan, sama saja perusahaan seperti menghambat karyawan untuk menyampaikan aspirasinya, meski penyampaian pendapat dalam bentuk mogok kerja juga tidak dibenarkan. Sehingga diharapkan kedua belah pihak dapat lebih bijaksana dalam mengambil keputusan dan tindakan. Perusahaan juga harus mengambil langkah yang tepat untuk dapat menetralisir perasaan yang ada pada karyawan saat ini pasca mogok kerja yang terjadi beberapa tahun lalu. Langkah awal yang dapat diambil perusahaan adalah dengan sebisa mungkin untuk memeberikan perlakuan yang sama terhadap karyawan baik yang melakukan mogok kerja maupun tidak, misalnya dalam pelayanan keluhan tadi, semua keluhan dilayani dan ditindak lanjuti dengan segera tanpa memandang apakah karyawan tersebut pernah terlibat mogok kerja atau tidak.
















B A B    IV
K E S I M P U L A N

Komunikasi yang tepat antara perusahaan dan karyawan merupakan hal pokok yang perlu dimiliki. Selain itu menjunjung tinggi prinsip dari hubungan industrial juga merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan baik bagi pengusaha maupun karyawan.
Pembentukan Serikat Pekerja sebagai perwakilan karyawan juga merupakan hal mutlak yang dibutuhkan untuk terciptanya komunikasi yang baik antara perusahaan dan karyawan. Serikat Pekerja pun tidak boleh di ikat kakinya oleh perusahaan agar karyawan yang berada dalam Serikat Pekerja dapat memberikan masukan, mengambil keputusan dan melakukan tindakan lebih leluasa sesuai dengan harapan karyawan dan dalam batas-batas tertentu yang telah disepakati bersama.
Dalam pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama, kedua belah pihak (pengusaha maupun karyawan yang diwakili Serikat Pekerja) hendaknya berperan aktif dan dapat memprediksi masalah-masalah apa yang akan dihadapi dan dapat menutup celah potensi-potensi yang dapat merugikan kedua belah pihak dengan merancang PKB yang detail, jelas dan tidak bias
Kedua belah pihak harus bijaksana dan dewasa dalam mengambil keputusan dan tindakan agar tidak terjadi hal yang dapat merugikan kedua belah pihak







DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_hubungan_industrial , 27 September 2012, Wikipedia, 29 Mei 2013

http://epsmanajemensdm.blogspot.com/2011/07/hubungan-industrial-industrial-relation.html , Juli 2011, Ed's-HRM, 29 Mei 2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Jaminan_sosial , 7 April 2013, 29 Mei 2013
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=290812 , 11 November 2011, Suarakarya-online, 30 Mei 2013

BATA, RIWAYATMU KINI



D E S K R I P S I

PT Sepatu Bata Tbk (BATA) didirikan tanggal 15 Oktober 1931. Perusahaan adalah anggota Bata Shoe Organization (BSO) yang mempunyai kantor pusat di Lausanne, Switzerland. BSO merupakan produsen terbesar penghasil sepatu di dunai yang beroperasi di banyak negara, menghasilkan serta menjual jutaan pasang sepatu setiap tahun.
Merk Bata sebenarnya diambil dari nama pendirinya, Tomas Bata, pengusaha asal Cekoslovakia. Nama Kalibata sendiri punya sejarah lain. Konon nama itu muncul karena sungai di kawasan itu kerap dilalui rakit pembawa batu bata dari Bogor menuju Jakarta. 
Sepatu Bata masuk ke Tanah Air sejak 1931 lewat jalur impor, didatangkan dari Singapura (dulu Malaya). Pengimpornya adalah perusahaan penyalur sepatu NV Nederlandsch-Indische di kawasan pergudangan Tanjung Priok. 6 tahun kemudian, Tomas Bata, sang pemilik, membangun pabrik raksasa di tengah-tengah perkebunan karet di Kalibata. Banyak warga sekitar (Rawajati, Kalibata) yang turuntemurun bekerja di Bata. 
Dari sinilah bisnis sepatu Bata menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air. Waktu itu sepatu kulit dan karet jadi andalan. Hampir 90% bahan baku dipasok dari dalam negeri. Bata menikmati masa jaya hingga era 1980. Hampir semua orang yang besar di era itu pernah menjajal sepatu ini. 
Pada 24 Maret 1984, perusahaan associate dari Bata Shoe Organization yang berpusat di Lusanne, Swiss, itu tercatat di Bursa Efek Jakarta sebagai PT. Sepatu Bata Tbk. Di tengah serbuan merek sepatu yang membanjiri Tanah Air, Bata yang kini dipegang oleh generasi ketiga, Thomas G. Bata, berusaha bertahan dengan mengedepankan kualitas yang sudah digaungkan secara turun-temurun dan harga terjangkau. Dua strategi ini membuat perusahaan modal asing itu tak jatuh diguncang badai krisis ekonomi yang menghajar Indonesia pada 1997-1998. 

Pada 2008 mereka memindahkan pabrik dan pusat distribusi dari Kalibata ke Purwakarta. Bata kini mengeluarkan merek alternatif seperti North Star, Power, Bubblegummers, dan Marie-Claire. Distribusi pemasaran terus digenjot, dari mal besar sampai toko-toko Bata di pinggir jalan
Saat ini PT. Sepatu Bata berada di dua tempat, yaitu Kalibata(telah di pindah ke Purwakarta) dan Medan. Keduanya menghasilkan 7 juta pasang alas kaki setahun yang terdiri dari 400 model sepatu, sepatu sandal, dan sandal baik yang dibuat dari kulit, karet, maupun dan plastik. Sebelum tahun 1978, status Bata di Indonesia adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA), sehingga dilarang menjual langsung ke pasar. Bata menjual melalui para penyalur khusus (depot) dengan sistem konsinyasi. Status para penyalur tersebut diubah dan pada 1 Januari 1978, yaitu saat izin dagang Bata "dipindahkan" kepada mereka dan PT Sepatu Bata menjadi perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, Perusahaan adalah bergerak di bidang usaha memproduksi sepatu kulit, sepatu dari kain, sepatu santai dan olah raga, sandal serta sepatu khusus untuk industri, dan impor dan distribusi sepatu. Perusahaan juga aktif melakukan ekspor sepatu.

 
P E R M A S A L A H A N

Permasalahan yang dihadapi bata diantaranya sebagai berikut :
1.        Pergeseran Selera Konsumen
Dimana dulu konsumen memilih sepatu yang dapat dipakai sesuai fungsinya dan awet dipakai. Tapi sekarang, konsumen tidak hanya melihat fungsinya, tetapi lebih mencari sepatu yang fashionable.
Konsumen menilai sepatu bata awet, tetapi hal ini justru di konotasikan dengan model-model kuno dan konservatif
2.        Positioning yang Tidak Jelas
Selama ini positioning Bata terus menggelinding dan terkesan dibiarkan saja, dianggap sebagai produk murah untuk kalangan menengah ke bawah, padahal saat ini banyak merek-merek sepatu terkenal lainnya di pasaran. Hal ini jelas tidak menguntungkan bagi sepatu Bata
3.        Persaingan Bisnis Sepatu yang Makin Ketat
Semakin banyaknya bisnis sepatu yang semakin beragam ditambah dengna masuknya merek sepatu internasional yang menggempur pasar Indonesia, membuat pelanggan sepatu Bata beralih ke merek-merek sepatu lain yang lebih sesuai dengan mereka.
 
A N A L I S I S    

Bisnis sepatu yang semakin marak di Indonesia menimbulkan persaingan yang sehat di industry tersebut. Hal ini harus disikapi positif oleh manajemen sepatu bata. Semakin meredupnya penjualan sepatu Bata dikarenakan kurangnya promosi dan periklanan, padahal promosi dan periklanan merupakan unsure yang sangat penting dalam memasarkan suatu produk, dan produk sepatu termaasuk produk sensitive iklan.
Sepatu Bata masih enggan berkampanye besar-besaran seperti pesaingnya atau dengan membangun citra korporat lewat strategi komunikasi yang luas. Sepatu Bata masih tetap menggunakan tema Back to School yang sudah dipakai sekitar 10 tahun.
Kurang gencarnya promosi dan periklanan sepatu Bata membuat positioning Bata menurun, sehingga memudarkan keinginan konsumen untuk tetap loyal. Bata belum memiliki positioning yang jelas sehingga melemahkan citra merek Bata itu sendiri
Adapun solusi dari permasalahn tersebut yaitu :
·         Sepatu Bata harus lebih gencar berkampanye periklanan, karena berhasil tidaknya pemasaran sepatu banyak ditentukan sukses tidaknya kampanye periklanan. Hal ini telah dilakukan sepatu Bata dengan menggunakan penyanyi Nugie, karena dianggap mewakili target anak-anak sekolah. Nugie pun cukup disenangi anak-anak dan mempunyai citra positif
·         Pergeseran selera konsumen terhadap sepatu Bata dapat diatasi dengan lebih memperbanyak lagi model sepatu. Adapun sepatu Bata telah memperoleh sebanyak mungkin lisensi sepatu. Terdapat lebih dari 10 lisensi yang ada pada sepatu Bata, diantaranya North Star untuk sepatu bergaya, Power dan All Star untuk sepatu olahraga, Marie Claire untuk sepatu wanita, Bubblegummers untuk sepatu anak-anak, Weinbrenner untuk sepatu santai pria, Hawaranas untuk sepatu santai dan olahraga, Emozini, Comfit, untuk sandal wanita, serta Panama Club, King street (sepatu pria bergaya)
·         Selain meningkatkan kualitas produk, sepatu Bata juga meningkatkan kualitas SDM dengan memberikan pelatihan kepada karyawan dan para penyalur mandiri (mitra outlet). Untuk penyalur mandiri, Bata menangani sendiri, khususnya yang berkaitan dengan stok barang, display barang dan promosi, maupun system pengelolaan outlet

 
K E S I M P U L A N

Untuk dapat bangkit dan meraih kembali masa kejayaannya, Bata harus melakukan manuver pemasaran yang tepat. Diantaranya Bata harus berani melakukan kampanye periklanan, karena produk yang dipasarkan Bata merupakan produk yang sensitif terhadap iklan. Bata harus inovatif dalam kampanye iklan ini. Tidak melakukan iklan dan tagline yang monoton.
Selain itu memperbanyak model sepatu yang diproduksi juga akan dapat menggairahkan kembali penjualan produk Bata. Karena selera konsumen telah bergeser dari yang dulu hanya menginginkan ketahan dan keawetan suatu produks, sekarang lebih menekankan pada fashionable produk yang digunakan konsumen.
Beberapa langkah yang diambil untuk menghadapi masalah yang dihadapi oleh Bata saat ini telah tepat, tinggal terus meningkatkan intensitas dan menjaga ritme yang masih harus terus dipelajari dan dijaga kekonsistenannya.